Sekitar 20 tahun yang lalu, saya menginap di rumah Prof. Nader Shooshtari, seorang gurubesar ilmu ekonomi di Universitas Montana. Malam-malam, sambil mengobrol, dia mengambil dua botol bir dan satu kotak tupperware dari dalam lemari es. Di dalam kotak itu terdapat berbagai sayur potong. Ada brokoli, kembang kol, wortel, batang seledri besar. Sambil minum bir, camilannya adalah sayur-mayur mentah itu. Tanpa dicocol salad dressing maupun salsa.
Apa enaknya? Pada masa itu, lidah saya belumlah secerdas dan secanggih sekarang. Saya cuma ikut-ikutan dan mencoba menikmati brokoli mentah yang rasanya langu. Juga wortel mentah terasa langu. Duh, sengsara banget jadi orang modern, ya?
Nader bukanlah seorang pemalas yang enggan memasak dan menyuguhkan sayuran mentah. Itu adalah gaya hidupnya. Gaya hidup bugar – fit lifestyle. Ketika kami seasrama di Hale Manoa, Universitas Hawaii, Nader selalu memaksa saya turun dari tempat tidur dan ikut dia melakukan push up duapuluh kali dan sit up duapuluh kali pula. Dia sendiri melakukannya sampai hitungan seratus.
Makan sayur mentah mestinya tidak merupakan tantangan berat bagi orang Indonesia. Kuliner Nusantara juga mengenal banyak sayur mentah. Karedok, misalnya, adalah kumpulan sayur mentah. Begitu juga trancam dan berbagai lalapan mentah. Tetapi, brokoli, kembang kol, paprika, dan wortel memang memerlukan acquired taste. Saya sendiri melatih lidah saya dengan makan sayur-sayur mentah itu dicocol blue cheese atau salad dressing maupun salsa. Sekarang, semua sayur mentah sudah dapat saya nikmati tanpa cocolan apapun. Tekstur dan crunchiness dari masing-masing sayur merupakan sensasi tersendiri yang sangat dapat dinikmati.
Pernah makan sup gazpacho dari Spanyol? Sup ini sebetulnya merupakan jus sayuran – paprika, timun, bawang bombai, tomat – dengan sedikit bumbu. Sama sekali tidak dimasak. Lebih baik lagi bila disimpan semalam di lemari es.
Belum lama ini saya sempat singgah di sebuah restoran yang khusus menyajikan makanan mentah. Namanya “Juliano’s Raw” di pojokan Broadway dan 6th Avenue, Santa Monica, dekat Los Angeles, California. Tempatnya sederhana. Tetapi, ternyata sudah banyak selebritis – antara lain Demi Moore – yang melanggani restoran ini.
Juliano tidak pernah menyebut nama belakangnya. Mungkin sekali dia keturunan Italia. Tetapi, di Italia, nama seperti itu dieja sebagai Giuliano. Ia selalu tampil dengan gairah yang luar biasa. Bicara dengan mata membelalak dan kedua tangannya bergerak mendukung setiap kata-katanya.
Juliano “berdakwah” tentang living food (makanan hidup), yaitu sayur-mayur dan buah-buahan yang mengandung the power of procreation. Sayur segar bisa ditanam lagi untuk menghasilkan sayur segar beberapa kali lipat. Demikian juga biji yang dikandung buah segar dapat ditanam untuk menghasilkan buah-buahan segar berlipat ganda. Itulah yang dimaksudnya sebagai the power of procreation. Karena itu, manusia yang hanya makan sayur-mayur dan buah segar akan menjadi “lebih hidup”.
Sebaliknya, sayur-mayur dan buah akan mati bila dimasak. Karena itulah Juliano selalu menganjurkan agar sayur-mayur dan buah tidak dimasak, agar tidak kehilangan daya alamiahnya yang luar biasa bagi kehidupan manusia. “Dead foods are dead. They spoil and rot deep in your guts, finally becoming some cancer which in a delivery of excruciating pain eats you from the inside out,” tulis Juliano dalam buku-buku yang sudah diterbitkannya tentang living foods.
“If we eat wrong, no doctor can cure us. If we eat right, no doctor is needed,” itu adalah petuah lain dari Juliano. Ia menjamin bahwa semua makanannya mentah. Bila pun sempat dimasak, dipastikan tidak melalui pemanasan di atas 40 derajat Celcius. Itu dilakukan karena menurut teori, pemanasan bahan makanan di atas 80 derajat Celcius akan mematikan semua enzim yang dikandung. Yang jelas, memasak bahan pangan berarti “memeras” cairan yang dikandung. Padahal, tubuh kita sangat membutuhkan enzim dan cairan.
Oke, maka kami pun mulai meneliti daftar makanan di kartu menu untuk melihat makanan apa saja yang kira-kira akan memuaskan. Kami memesan beberapa menu untuk dicoba.
Ternyata, makanan yang datang jauh di luar dugaan kami. Misalnya, burrito yang kami pesan ternyata tidak dibungkus tortilla yang biasanya dibuat dari gandum atau tepung jagung, melainkan dibungkus nori (rumput laut). Lasagna yang kami pesan pun ternyata tidak memakai pasta. Satu-satunya makanan yang dimasak adalah yang terbuat dari campuran berbagai macam kacang.
Beberapa bahan yang banyak dipakai dalam hidangan “Raw” adalah wijen, wijen hitam, bit, kubis ungu, daun ketumbar, guacamole (dari avocado), krim kocok (whipped cream), rumput laut, dan berbagai jenis bunga yang dapat dimakan. Krim kocok untuk makanan maupun dessert dibuat dari Irish moss seaweed (sejenis rumput laut). Keju dibuat dari kacang-kacangan. Pasta dibuat dari zucchini. Minyak zaitun yang digunakannya juga minyak khusus yang diproses dengan panas yang tidak melebihi 35 derajat Celcius.
Rasanya? Saya tidak bohong. Betul-betul mak nyuss! Begitu segar, begitu unik, begitu khas. Saya sendiri heran betapa makanan dari bahan-bahan mentah dapat disajikan sedemikian enak. Luar biasa!
Di restorannya, Juliano hanya menyajikan makanan yang disebutnya sebagai living cuisine. Juliano’s food comes straight from the garden to your plate – demikianlah slogan restoran yang juga menjanjikan “100% organic” itu. Juliano bahkan “menantang” tamunya agar membawa sisa makanan pulang ke rumah dan kemudian meletakkannya di tanah. Tiga hari kemudian, pasti akan tampak tanda-tanda kehidupan dari tanaman baru. Itulah bukti nyata tentang slogan “living food”. Bandingkan dengan daging yang Anda buang di tanah. Tiga hari kemudian yang akan bermunculan adalah belatung.
Satu hal lagi yang saya “pelajari” di “Raw” adalah bahwa ternyata pada umumnya wine adalah minuman yang tidak vegan-friendly. “Raw”, sebaliknya, menyajikan wine khusus yang vegan-friendly, yaitu wine yang dalam proses pembuatannya tidak memakai putih telur, casein, dan gelatine yang merupakan produk hewani.
Bahan makanan yang disajikan “Raw” sebetulnya tidak hanya seratus persen organik, melainkan juga seratus persen veganik. Veganik berarti semua tanaman itu dipupuk dengan rumput laut dan abu vulkanik – tanpa pupuk dari kotoran hewan, apalagi pupuk kimia. Bahkan pencucian semua alat-alat dapur maupun alat-alat saji di “Raw” tidak memakai deterjen, melainkan dengan jeruk lemon dan cuka. Juliano barangkali memang orang yang paling fanatik dalam menjalani doktrin veganik.
“All of our foods – fruits, vegetables, sprouted grains – have been gently and lovingly tranformed into delicious food,” kata Juliano dengan mata membelalak dan kedua tangannya “beterbangan” ke mana-mana. Diam-diam saya menyimpan kekahawatiran, jangan-jangan kalau saya jadi veganik juga akan menjadi “hiper” seperti Juliano – bicara dengan mata membelalak, suara tinggi, dan kedua tangan heboh ikut bicara.
“Doktrin” Juliano ini mau tidak mau mengingatkan saya pada prinsip yang dianjurkan oleh Dokter Chris Teo di Penang. Di kliniknya, Dokter Teo menyembuhkan pasien kanker secara veganik dan kebiasaan hidup sehat. Ia bahkan menganjurkan agar orang tidak menjalani kemoterapi yang menurut dia justru bertentangan dengan hukum alam.
Seorang visioner agung Alfred Einstein pernah berkata bahwa masa depan dunia ini akan lebih terjamin bila makin banyak orang beralih dari kesukaan makan produk hewani ke disiplin makan sayur-mayur dan biji-bijian.
Selamat Waisak bagi teman-teman Buddhis yang sebagian besar menganut vegetarian. Sabe satta bhavantu sukhitata. Semoga semua mahluk berbahagia.
Bondan Winarno
Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar